Kearifan Lokal Sumba (Nusa Tenggara Timur)
Nama Kelompok :
Anggita Septya Resi
: 10217770
Dyah Prahesti S.A.
: 11217839
Shalsabella Khusnia L.D. : 15217623
Syarifah Maisya H.A.
: 15217849
Bab I
Pendahuluan
Latar
Belakang
Kearifan lokal memiliki
hubungan yang erat dengan kebudayaan
tradisional pada
suatu tempat, dalam kearifan lokal tersebut banyak
mengandung suatu
pandangan maupun aturan agar masyarakat lebih memiliki
pijakan dalam
menenukan suatu tindakkan seperti prilaku masyarakat seharihari.
Pada umumnya
etika dan nilai moral yang terkandung dalam kearifan
lokal diajarkan
turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi melalui
sastra lisan
(antara lain dalam bentuk pepatah dan peribahasa, folklore), dan
manuskrip
(Suyono Suyatno, 2013). Kearifan lokal yang diajarkan secara
turun-temurun
tersebut merupakan kebudayaan yang patut dijaga, masingmasing
wilayah memiliki
kebudayaan sebagai ciri khasnya dan terdapat
kearifan lokal
yang terkandung di dalamnya.
Setiap daerah di
Indonesia memiliki ciri khas
budaya
masing-masing yang patut untuk dikembangkan dan dijaga
keberadaannya
sebagai identitas bangsa agar tetap dikenal oleh generasi
muda.
Koentjaraningrat (M. Munandar Soelaeman, 2007: 62) mengatakan
bahwa kebudayaan
nasional Indonesia berfungsi sebagai pemberi identitas
kepada sebagian
warga dari suatu nasion, merupakan kontinyuitas sejarah dari
jaman kejayaan
bangsa Indonesia di masa yang lampau sampai kebudayaan
nasional masa
kini.
Bab II
ISI
A. Sejarah
Pulau
Sumba didiami oleh suku Sumba dan terbagi atas empat kabupaten, Sumba Barat
Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Masyarakat Sumba cukup mampu
mempertahankan kebudayaan aslinya di tengah-tengah arus pengaruh asing yang
telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan
khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup di
tengah-tengah masyarakat Sumba ash. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai
ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumahrumah ibadat (umaratu)
rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias
ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti
kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.
B.
Kebudayaan
Di
Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama
(kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa
lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan
busananya. Dewasa ini perbedaan pada busana lebih ditunjukkan oleh tingkat
kepentingan peristiwa seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan
dan kematian dimana komponen-komponen busana yang dipakai adalah buatan baru.
Sedangkan busana lama atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari.
Bagian
terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa
lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan lau untuk wanita. Dari kain-kain
hinggi dan lau tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung serta
aplikasi muti dan hada terungkap berbagai perlambangan dalam konteks sosial,
ekonomi.
C. Rumah
Adat Sumba
Bahasa
Sumba: uma mbatangu, "rumah berpuncak" mengacu pada rumah adat
vernakular Suku Sumba dari pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Rumah
adat Sumba memiliki dengan puncak yang tinggi pada atap dan hubungan kuat
dengan roh-roh atau marapu.
Pulau
Sumba dihuni oleh beberapa kelompok budaya dan bahasa, namun semua memiliki
adat arsitektur yang sama. Animisme
sangat kuat dalam masyarakat Sumba. Adat agama difokuskan pada marapu. Marapu mencakup roh-roh orang meninggal,
dari tempat-tempat suci, benda-benda pusaka dan instrumen yang digunakan untuk
berkomunikasi dengan dunia roh.Konsep ini mempengaruhi arsitektur ruang dalam
rumah adat Sumba. Terdapat dua rumah utama bagi orang Sumba. Rumah yang paling
khas adalah uma mbatangu ("rumah berpuncak") dari Sumba Timur yang
memiliki puncak tinggi di bagian tengah. Atap ini terbuat dari jerami,
alang-alang dan agak mirip dengan puncak tengah pada rumah adat Jawa joglo.
Rumah dengan pumcak paling besar dikenal sebagai Uma Bungguru. Rumah ini adalah rumah utama klan dan menjadi tempat
penting untuk ritual yang berkaitan dengan persatuan dan kesatuan klan,
misalnya upacara pernikahan, pemakaman, dan sebagainya. Rumah besar juga
merupakan rumah tinggal permanen bagi orang tertua di desa. Jenis lainnya
adalah rumah Uma Kamadungu
("rumah botak") yang tidak memiliki puncak tengah.
Rumah
adat Sumba biasa memiliki tata letak berbentuk persegi. Empat tiang utama penopang
atap puncak dari rumah ini, memiliki simbolisme mistis. Sebuah rumah adat Sumba
dapat menampung satu hingga beberapa keluarga. Dua pintu masuk diposisikan di
kiri dan kanan rumah. Tidak ada jendela di rumah adat Sumba, ventilasi udara
melalui lubang kecil di dinding, yang terbuat dari anyaman dahan sawit atau
selubung pinang. Tanduk kerbau sering digunakan sebagai penghias dinding
sebagai pengingat pengorbanan masa lalu.
·
Tradisi
Sumba
Ø Tradisi Pasola
Pasola berasal dari kata
"sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang
dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh
dua kelompok yang berlawanan.Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola),
artinya menjadi permainan.adi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan
saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang
antara dua kelompok yang berlawanan.Pasola merupakan bagian dari serangkaian
upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli
yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba).Permainan pasola diadakan
pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat.Keempat kampung tersebut antara
lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura.Pelaksanaan pasola di keempat kampung
ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret
setiap tahunnya.
Ø Tradisi Nyale
Tradisi nyale merupakan puncak dari
segala kegiatan untuk memulai pasola.Pasola diawali dengan pelaksanaan adat
nyale. Adat nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang
didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang
melimpah di pinggir pantai.Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama
dan cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi
pantai.Para Rato (pemuka suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi
hari, setelah hari mulai terang.Setelah nyale pertama didapat oleh Rato, nyale
dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk
serta warnanya.Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda
tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil.Sebaliknya,
bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka.Setelah itu penangkapan
nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat.Tanpa mendapatkan nyale, Pasola
tidak dapat dilaksanakan.Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas,
disaksikan oleh segenap warga dari kedua kelompok yang bertanding, masyarakat
umum, dan wisatawan asing maupun lokal.Setiap kelompok terdiri atas lebih dari
100 pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu berujung tumpul dan
berdiameter kira-kira 1,5 cm.Walaupun berujung tumpul, permainan ini dapat
memakan korban jiwa.Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu,
korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah melakukan
suatu pelanggaran atau kesalahan.Dalam permainan pasola, penonton dapat melihat
secara langsung dua kelompok ksatria sumba yang sedang berhadap-hadapan,
kemudian memacu kuda secara lincah sambil melesetkan lembing ke arah
lawan.Selain itu, para peserta pasola ini juga sangat tangkas menghindari
terjangan tongkat yang dilempar oleh lawan.Derap kaki kuda yang menggemuruh di
tanah lapang, suara ringkikan kuda, dan teriakan garang penunggangnya menjadi
musik alami yang mengiringi permainan ini.Pekikan para penonton perempuan yang
menyemangati para peserta pasola, menambah suasana menjadi tegang dan
menantang.Pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur dianggap berkhasiat
untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panen.Apabila terjadi kematian dalam
permainan pasola, maka hal itu menandakan sebelumnya telah terjadi pelanggaran
norma adat yang dilakukan oleh warga pada tempat pelaksanaan pasola.
·
Alat
Musik Tradisional
Ø Alat Musik Sasando
Sasando adalah sebuah alat musik
dawai yang dimainkan dengan dipetik. Instumen musik ini berasal dari pulau
Rote, Nusa Tenggara Timur. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya
dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi.
Suara sasando ada miripnya dengan alat musik dawai lainnya seperti gitar,
biola, kecapi, dan harpa.
Bagian utama sasando berbentuk tabung
panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari
atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) yang
direntangkan di tabung, dari atas kebawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini
memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung
sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun
lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando.
Ø Alat Musik Heo
Selain sasando, masyarakat NTT juga
mengenal beberapa jenis alat musik tradisional lainnya, misalnya Heo. Heo
adalah alat musik gesek yang dibuat dari papan dengan alat gesek dari rangkaian
ekor kuda. Heo memiliki 4 buah dawai dengan nada-nada dasar yang berbeda. Cara
memainkan heo persis sama seperti cara memainkan biola pada umumnya.
Ø Alat Musik Foy Doa
Foy Doa adalah alat musik tradisional
NTT yang berasal dari kebudayaan masyarakat Flores. Berdasarkan asal katanya,
Foy Doa berarti suling ganda. Instrumen ini memang tersusun 2 atau lebih suling
yang dimainkan secara bersama-sama. Foy doa dimainkan umumnya mengiringi syair
atau nyanyian petuah yang disampaikan orang-orang tua sebagai nasihat bagi
anak-anaknya. Dengan nada-nada tunggal yang teralun dari foy doa, nasihat yang
diterima akan dirasa lebih berkesan.
Ø Alat Musik Foy Pai
Sama seperti foy doa, foy pai juga
termasuk jenis alat musik tiup. Foy pai berupa suling bambu dengan bentuk
menyerupai angka 4. Alat musik ini menghasilkan nada-nada dasar antara lain Do,
Re, Mi, Fa, dan Sol. Biasanya ia dimainkan untuk melengkapi permainan foy doa.
Ø Alat Musik Knobe
Khabetas
Ini adalah alat musik tradisional
NTT yang dipercaya telah ada sejak zaman batu. Bentuknya seperti busur panah,
yaitu berupa lengkungan bambu yang diikat dengan tali yang tipis tapi lebar.
Cara memainkannya cukup mudah, yaitu dengan mendekatkan tali ke mulut dan
meniupnya. Instrumen ini dulu sering dibawa sebagai hiburan di sawah saat
seseorang menunggu tanaman kebunnya dari serangan hama.
·
Tari
– Tarian
Ø Tari Kandingang
Tarian ini biasanya dimainkan oleh
para penari perempuan dengan menggunakan rumbai-rumbaian yang terbuat dari ekor
kuda sebagai atribut menarinya. Tari Kandingang ini merupakan salah satu tarian
tradisional yang cukup terkenal di Pulau Sumba, khususnya daerah Sumba Timur.
Tarian ini sering ditampilkan di berbagai acara seperti acara adat, perkawinan,
penyambutan dan acara budaya lainnya.
Ø Tari Woleka
Tari Woleka adalah salah satu tarian
tradisional yang berasal dari Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT). Tarian ini merupakan tarian selamat datang atau penyambutan. Tari Woleka
biasanya ditarikan oleh beberapa penari pria dan wanita dengan gerakan yang
sangat khas. Tarian merupakan tarian tradisional yang cukup terkenal di Sumba,
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini sering ditampilkan diberbagai
acara seperti acara penyambutan tamu penting, festival budaya dan juga
pertunjukan seni.
Ø Tari Kataga
Tari Kataga adalah salah satu tarian
tradisional sejenis tarian perang yang khas dari Sumba Barat, Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT). Tarian ini biasanya dimainkan oleh para penari pria
dengan menggunakan kostum adat dan dilengkapi senjata seperti pedang dan
perisai. Tari Kataga ini merupakan tarian tradisional yang cukup terkenal di
NTT, khususnya di Sumba Barat yang merupakan tempat asalnya. Tarian ini
biasanya ditampilkan diberbagai acara adat, penyambutan, ataupun pertunjukan
budaya.
·
Makanan
Khas
Ø Sup Ayam Waingapu
Ayamnya
empuk dengan rasa kuah yang begitu unik. Bukan dari asam jawa, rasa masam di
kuah sup ayam waingapu ini merupakan kombinasi kombinasi tomat, belimbing
wuluh, dan daun kemangi.
Ø Martabak Ayam
Tak seperti martabak manis yang biasa
dijumpai di Jawa, rasanya lebih mirip martabak telur. Hanya saja, isi adonannya
merupakan daging ayam giling yang lembut. Dipadu dengan sambal cair, martabak
ini punya tekstur sempurna, yakni renyah di luar, lembut di dalam.
Ø Sayur Rumpu Rampe
Dibuat dari campuran daun singkong
,jantung pisang,bunga papaya,daun papaya dan buah pepaya.
Ø Nasi Jagung
Dibuat dari beras yang dimasak bareng
dengan jagung yang sudah ditumbuk menjadi pecahan kecil.
·
Mayoritas
Agama
Pulau
Sumba adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Luas
wilayahnya 10.710 km², dan titik tertingginya Gunung Wanggameti (1.225 m).
Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut,
Timor di timur, dan Australia di selatan dan tenggara. Selat Sumba terletak di
utara pulau ini. Di bagian timur terletak Laut Sawu serta Samudra Hindia
terletak di sebelah selatan dan barat.
Secara
administratif, pulau ini termasuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau
ini sendiri terdiri dari empat kabupaten: Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten
Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur. Kota
terbesarnya adalah Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur. Kota tersebut juga
terdapat bandara udara dan pelabuhan laut yang menghubungkan Pulau Sumba dengan
pulau-pulau lainnya di Indonesia seperti Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau
Timor.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Suasana
kekeluargaan yang terasa sangat kental terlihat di Sumba Barat Daya, Nusa
Tenggara Timur. Meskipun masyarakatnya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari,
terlihat para wanita atau ibu yang ada disana selalu memiliki waktu dengan
anak-anaknya. Dengan kasih sayang, ibu penenun kain
tersebut memangku seorang anak, dan anak lainnya tertawa riang disekitarnya.
Merupakan suatu pemandangan yang indah tentang arti sebuah keluarga dan
persahabatan.
Dibalik
kehidupan sederhana masyarakat lokal Sumba Barat Daya, terpancar titik senyum
kebahagiaan dari keluarga kecil yang memperlihatkan kepada kita, bahwa cinta
kasih keluarga, dan juga, persahabatan, merupakan hal yang indah dan begitu
berharga.
Daftar Pustaka
Boro, Paulus
Lete. (1995). Pasola, permainan ketangkasan berkuda lelaki Sumba, Nusa Tenggara
Timur, Indonesia. Jakarta. Obor hal. 1-2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar