Senin, 30 Oktober 2017

Kearifan Lokal Sumba (Nusa Tenggara Timur)

Kearifan Lokal Sumba (Nusa Tenggara Timur)




Nama Kelompok :
Anggita Septya Resi               : 10217770
Dyah Prahesti S.A.                 : 11217839
Shalsabella Khusnia L.D.       : 15217623
Syarifah Maisya H.A.             : 15217849



Bab I

Pendahuluan

Latar Belakang
Kearifan lokal memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan
tradisional pada suatu tempat, dalam kearifan lokal tersebut banyak
mengandung suatu pandangan maupun aturan agar masyarakat lebih memiliki
pijakan dalam menenukan suatu tindakkan seperti prilaku masyarakat seharihari.
Pada umumnya etika dan nilai moral yang terkandung dalam kearifan
lokal diajarkan turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi melalui
sastra lisan (antara lain dalam bentuk pepatah dan peribahasa, folklore), dan
manuskrip (Suyono Suyatno, 2013). Kearifan lokal yang diajarkan secara
turun-temurun tersebut merupakan kebudayaan yang patut dijaga, masingmasing
wilayah memiliki kebudayaan sebagai ciri khasnya dan terdapat
kearifan lokal yang terkandung di dalamnya.
Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas
budaya masing-masing yang patut untuk dikembangkan dan dijaga
keberadaannya sebagai identitas bangsa agar tetap dikenal oleh generasi
muda. Koentjaraningrat (M. Munandar Soelaeman, 2007: 62) mengatakan
bahwa kebudayaan nasional Indonesia berfungsi sebagai pemberi identitas
kepada sebagian warga dari suatu nasion, merupakan kontinyuitas sejarah dari
jaman kejayaan bangsa Indonesia di masa yang lampau sampai kebudayaan
nasional masa kini.



Bab II

ISI

A.     Sejarah
Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba dan terbagi atas empat kabupaten, Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya di tengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup di tengah-tengah masyarakat Sumba ash. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumahrumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.

B.    Kebudayaan
Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Dewasa ini perbedaan pada busana lebih ditunjukkan oleh tingkat kepentingan peristiwa seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan dan kematian dimana komponen-komponen busana yang dipakai adalah buatan baru. Sedangkan busana lama atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari.
Bagian terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan lau untuk wanita. Dari kain-kain hinggi dan lau tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung serta aplikasi muti dan hada terungkap berbagai perlambangan dalam konteks sosial, ekonomi.



C. Rumah Adat Sumba
Bahasa Sumba: uma mbatangu, "rumah berpuncak" mengacu pada rumah adat vernakular Suku Sumba dari pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Rumah adat Sumba memiliki dengan puncak yang tinggi pada atap dan hubungan kuat dengan roh-roh atau marapu.

Pulau Sumba dihuni oleh beberapa kelompok budaya dan bahasa, namun semua memiliki adat arsitektur yang sama. Animisme sangat kuat dalam masyarakat Sumba. Adat agama difokuskan pada marapu. Marapu mencakup roh-roh orang meninggal, dari tempat-tempat suci, benda-benda pusaka dan instrumen yang digunakan untuk berkomunikasi dengan dunia roh.Konsep ini mempengaruhi arsitektur ruang dalam rumah adat Sumba. Terdapat dua rumah utama bagi orang Sumba. Rumah yang paling khas adalah uma mbatangu ("rumah berpuncak") dari Sumba Timur yang memiliki puncak tinggi di bagian tengah. Atap ini terbuat dari jerami, alang-alang dan agak mirip dengan puncak tengah pada rumah adat Jawa joglo. Rumah dengan pumcak paling besar dikenal sebagai Uma Bungguru. Rumah ini adalah rumah utama klan dan menjadi tempat penting untuk ritual yang berkaitan dengan persatuan dan kesatuan klan, misalnya upacara pernikahan, pemakaman, dan sebagainya. Rumah besar juga merupakan rumah tinggal permanen bagi orang tertua di desa. Jenis lainnya adalah rumah Uma Kamadungu ("rumah botak") yang tidak memiliki puncak tengah.
Rumah adat Sumba biasa memiliki tata letak berbentuk persegi. Empat tiang utama penopang atap puncak dari rumah ini, memiliki simbolisme mistis. Sebuah rumah adat Sumba dapat menampung satu hingga beberapa keluarga. Dua pintu masuk diposisikan di kiri dan kanan rumah. Tidak ada jendela di rumah adat Sumba, ventilasi udara melalui lubang kecil di dinding, yang terbuat dari anyaman dahan sawit atau selubung pinang. Tanduk kerbau sering digunakan sebagai penghias dinding sebagai pengingat pengorbanan masa lalu.




·         Tradisi Sumba

Ø  Tradisi Pasola
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan.Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan.adi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba).Permainan pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat.Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura.Pelaksanaan pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya.




Ø  Tradisi Nyale
Tradisi nyale merupakan puncak dari segala kegiatan untuk memulai pasola.Pasola diawali dengan pelaksanaan adat nyale. Adat nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai.Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai.Para Rato (pemuka suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai terang.Setelah nyale pertama didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya.Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil.Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka.Setelah itu penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat.Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan.Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga dari kedua kelompok yang bertanding, masyarakat umum, dan wisatawan asing maupun lokal.Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm.Walaupun berujung tumpul, permainan ini dapat memakan korban jiwa.Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.Dalam permainan pasola, penonton dapat melihat secara langsung dua kelompok ksatria sumba yang sedang berhadap-hadapan, kemudian memacu kuda secara lincah sambil melesetkan lembing ke arah lawan.Selain itu, para peserta pasola ini juga sangat tangkas menghindari terjangan tongkat yang dilempar oleh lawan.Derap kaki kuda yang menggemuruh di tanah lapang, suara ringkikan kuda, dan teriakan garang penunggangnya menjadi musik alami yang mengiringi permainan ini.Pekikan para penonton perempuan yang menyemangati para peserta pasola, menambah suasana menjadi tegang dan menantang.Pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur dianggap berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panen.Apabila terjadi kematian dalam permainan pasola, maka hal itu menandakan sebelumnya telah terjadi pelanggaran norma adat yang dilakukan oleh warga pada tempat pelaksanaan pasola.




·         Alat Musik Tradisional

Ø  Alat Musik Sasando
Sasando adalah sebuah alat musik dawai yang dimainkan dengan dipetik. Instumen musik ini berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Suara sasando ada miripnya dengan alat musik dawai lainnya seperti gitar, biola, kecapi, dan harpa.
Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas kebawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando.




Ø  Alat Musik Heo
Selain sasando, masyarakat NTT juga mengenal beberapa jenis alat musik tradisional lainnya, misalnya Heo. Heo adalah alat musik gesek yang dibuat dari papan dengan alat gesek dari rangkaian ekor kuda. Heo memiliki 4 buah dawai dengan nada-nada dasar yang berbeda. Cara memainkan heo persis sama seperti cara memainkan biola pada umumnya.



Ø  Alat Musik Foy Doa
Foy Doa adalah alat musik tradisional NTT yang berasal dari kebudayaan masyarakat Flores. Berdasarkan asal katanya, Foy Doa berarti suling ganda. Instrumen ini memang tersusun 2 atau lebih suling yang dimainkan secara bersama-sama. Foy doa dimainkan umumnya mengiringi syair atau nyanyian petuah yang disampaikan orang-orang tua sebagai nasihat bagi anak-anaknya. Dengan nada-nada tunggal yang teralun dari foy doa, nasihat yang diterima akan dirasa lebih berkesan.



Ø  Alat Musik Foy Pai
Sama seperti foy doa, foy pai juga termasuk jenis alat musik tiup. Foy pai berupa suling bambu dengan bentuk menyerupai angka 4. Alat musik ini menghasilkan nada-nada dasar antara lain Do, Re, Mi, Fa, dan Sol. Biasanya ia dimainkan untuk melengkapi permainan foy doa.

Ø  Alat Musik Knobe Khabetas
Ini adalah alat musik tradisional NTT yang dipercaya telah ada sejak zaman batu. Bentuknya seperti busur panah, yaitu berupa lengkungan bambu yang diikat dengan tali yang tipis tapi lebar. Cara memainkannya cukup mudah, yaitu dengan mendekatkan tali ke mulut dan meniupnya. Instrumen ini dulu sering dibawa sebagai hiburan di sawah saat seseorang menunggu tanaman kebunnya dari serangan hama.

·         Tari – Tarian

Ø  Tari Kandingang
Tarian ini biasanya dimainkan oleh para penari perempuan dengan menggunakan rumbai-rumbaian yang terbuat dari ekor kuda sebagai atribut menarinya. Tari Kandingang ini merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di Pulau Sumba, khususnya daerah Sumba Timur. Tarian ini sering ditampilkan di berbagai acara seperti acara adat, perkawinan, penyambutan dan acara budaya lainnya.

Ø  Tari Woleka
Tari Woleka adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini merupakan tarian selamat datang atau penyambutan. Tari Woleka biasanya ditarikan oleh beberapa penari pria dan wanita dengan gerakan yang sangat khas. Tarian merupakan tarian tradisional yang cukup terkenal di Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini sering ditampilkan diberbagai acara seperti acara penyambutan tamu penting, festival budaya dan juga pertunjukan seni.



Ø  Tari Kataga
Tari Kataga adalah salah satu tarian tradisional sejenis tarian perang yang khas dari Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini biasanya dimainkan oleh para penari pria dengan menggunakan kostum adat dan dilengkapi senjata seperti pedang dan perisai. Tari Kataga ini merupakan tarian tradisional yang cukup terkenal di NTT, khususnya di Sumba Barat yang merupakan tempat asalnya. Tarian ini biasanya ditampilkan diberbagai acara adat, penyambutan, ataupun pertunjukan budaya.


·         Makanan Khas

Ø  Sup Ayam Waingapu
Ayamnya empuk dengan rasa kuah yang begitu unik. Bukan dari asam jawa, rasa masam di kuah sup ayam waingapu ini merupakan kombinasi kombinasi tomat, belimbing wuluh, dan daun kemangi.


Ø  Martabak Ayam
Tak seperti martabak manis yang biasa dijumpai di Jawa, rasanya lebih mirip martabak telur. Hanya saja, isi adonannya merupakan daging ayam giling yang lembut. Dipadu dengan sambal cair, martabak ini punya tekstur sempurna, yakni renyah di luar, lembut di dalam.



Ø  Sayur Rumpu Rampe
Dibuat dari campuran daun singkong ,jantung pisang,bunga papaya,daun papaya dan buah pepaya.



Ø  Nasi Jagung
Dibuat dari beras yang dimasak bareng dengan jagung yang sudah ditumbuk menjadi pecahan kecil.



·         Mayoritas Agama
Pulau Sumba adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Luas wilayahnya 10.710 km², dan titik tertingginya Gunung Wanggameti (1.225 m). Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan Australia di selatan dan tenggara. Selat Sumba terletak di utara pulau ini. Di bagian timur terletak Laut Sawu serta Samudra Hindia terletak di sebelah selatan dan barat.
Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini sendiri terdiri dari empat kabupaten: Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur. Kota terbesarnya adalah Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur. Kota tersebut juga terdapat bandara udara dan pelabuhan laut yang menghubungkan Pulau Sumba dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia seperti Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Timor.



Bab III
Penutup
Kesimpulan
Suasana kekeluargaan yang terasa sangat kental terlihat di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Meskipun masyarakatnya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, terlihat para wanita atau ibu yang ada disana selalu memiliki waktu dengan anak-anaknya. Dengan kasih sayang, ibu penenun kain tersebut memangku seorang anak, dan anak lainnya tertawa riang disekitarnya. Merupakan suatu pemandangan yang indah tentang arti sebuah keluarga dan persahabatan.
Dibalik kehidupan sederhana masyarakat lokal Sumba Barat Daya, terpancar titik senyum kebahagiaan dari keluarga kecil yang memperlihatkan kepada kita, bahwa cinta kasih keluarga, dan juga, persahabatan, merupakan hal yang indah dan begitu berharga.




Daftar Pustaka

Boro, Paulus Lete. (1995). Pasola, permainan ketangkasan berkuda lelaki Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Jakarta. Obor hal. 1-2.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar